Rabu, 12 November 2008

HENRY MARTYN; Bundelan Api

Di kota Kalkutta seorang muda asal Inggris memasuki sebuah kuil Hindu yang telah lama ditinggalkan dan, ketika patung-patung para dewa bangsa yang tidak mengenal Allah yang memiliki banyak tangan itu menatapnya, ia berlutut untuk berdoa: “O Tuhan, dahulu aku berada di negeri yang sangat jauh, menghabiskan hidupku melayani dosa. Tetapi ketika aku memandang kepada-Mu dalam penyesalan dan penyerahan diri, Engkau memilikiku. Engkau menginginkan agar aku tidak menjadi api yang menyebarkan kehancuran, tetapi sebuah obor yang memancarkan terang-Mu. Maka di sinilah aku berada, di tengah malam di negeri orang-orang yang tidak mengenal Tuhan, gelap, biadab, dan suka menindas. Sekarang, Tuhanku, biarkan aku terbakar untuk-Mu!”

Pria Inggris muda ini adalah Henry Martin dan ketika dia berlutut di dalam sebuah kuil Hindu dan berdoa, “ Sekarang, O Tuhanku, biarkan aku terbakar untuk-Mu!” Ia sedang memikirkan sebuah ayat yang menggugah hidupnya - Zakharia 3:2. Ayat ini juga adalah ayat favorit dari John Wesley. Hingga akhir hidupnya Wesley menyimpan di dindingnya sebuah lukisan dari pensil akan sebuah rumah pendeta yang terbakar api, yang ketika ia berumur 6 tahun, diselamatkan dari musibah seperti di gambar itu tepat pada waktunya. Dan, di bawah lukisan itu, Wesley menulis dengan tangannya sendiri pertanyaan sang nabi yang berapi-api, “Bukankah dia ini puntung yang telah ditarik dari api?”

Robert Morrison juga bergembira akan kebenaran dalam Zakharia 3:2 dan ayat yang cocok dengan ayat itu dalam Amos 4:11, dan sering berterimakasih kepada “Tangan yang telah menarik aku dari kebakaran.” John Williams, misionari martir dari Polinesia, adalah salah seorang lagi yang menghargai ayat ini. “ Aku tidak punya waktu untuk merasa kehilangan, “ katanya, “karena bukankah aku adalah puntung yang telah ditarik dari api?” Henry Martyn bersama dengan John Wesley, John Williams, dan dengan yang lainnya berkata “aku adalah puntung yang telah ditarik dari api.”

Henry Martyn dilahirkan di Truro, Cornwall, Inggris, 18 February 1781. Mengenai Pahlawan Salib muda ini, Sir James Stephen berkata, “Namanya adalah nama pahlawan yang menghiasi sejarah gereja Inggris dari zaman Ratu Elizabeth hingga zaman kita.”

Sejarah yang singkat dan mengesankan dari kehidupan Henry Martyn ini dapat dirangkum dalam 3 pernyataan: (1) Bundelan Api Diselamatkan oleh Seseorang yang Menghargainya; (2) Bundelan Api Ditaruh pada Sebatang Lilin India; (3) Bundelan Api Terbakar.

BUNDELAN API DISELAMATKAN OLEH SESEORANG YANG MENGHARGAINYA

Di dalam Injil Lukas pasal 15, tiga orang sangat sangat terbeban terhadap ‘yang hilang.’ Seorang ayah memikirkan putranya yang hilang, seorang gembala mencari dombanya yang hilang dan seorang wanita mencari dengan cermat dirhamnya yang hilang. Ada tiga orang – ayahnya, saudarinya dan gembalanya – mencari “yang hilang,” dan namanya adalah Henry Martyn.

John Martyn (ayah Henry) memiliki seorang gembala bernama Tn. Walker yang, seperti temannya John Wesley, banyak berkhotbah tentang “kelahiran kembali.” Martyn gembira dalam misi penginjilan yang diadakan Tn. Walker dan selain itu juga merupakan anggota kelompok pendalaman Alkitab yang memupuk iman melalui pembelajaran Alkitab dan doa. Namun ia tidak sadar bahwa putranya belum lahir baru. Suatu hari Henry bertengkar dengan ayahnya dan lari dari rumah. Sesudahnya ia sangat terpukul saat dikabari bahwa ayahnya meninggal.

Ibu Henry telah meninggal saat dia masih bayi, dia dibesarkan dalam pengasuhan kakak perempuannya, Sally. Sally sangat terbeban atas sikap Henry yang meluap-luap dan bersemangat. Bujukan dan nasehat Sally membuatnya marah dan “dalam bahasa terkasar” menyuruh Sally untuk membiarkannya sendiri. Sally akhirnya berhasil membuat dia berjanji untuk membaca Alkitab, namun ketika ia kuliah, dia berkata, “Newton memenuhi seluruh pikiran saya.” Tetapi, doa saudarinya selalu beserta dengannya juga surat-surat yang penuh kasih sayang dan penuh khawatir yang ditulis oleh Sally, dan Henry mulai membaca kitab Perjanjian Baru.

Gembala yang mencarinya adalah Rev. Charles Simeon, pelayan Tuhan di Trinity Church, Cambridge. Simeon termasuk orang-orang yang sesudah menyendiri bersama Tuhan selama beberapa jam, lalu keluar dengan penuh semangat untuk menyelamatkan yang hilang. Ia berkhotbah dengan tanpa kompromi dan sedemikian rohaninya hingga orang-orang kaya meninggalkan gerejanya. Namun gerejanya penuh dengan petani-petani miskin dan pelajar-pelajar dari Cambridge. Salah satunya adalah Henry Martyn. Ia sangat tertarik pada Martyn dan berpikir bahwa ia akan bersinar bagi Tuhan. Namun ia tidak menyadari
seberapa bersinarnya Martyn kelak. Biarlah tiap hamba Tuhan dan guru sekolah minggu menyadari, bahwa dalam gerejanya atau dalam kelasnya mungkin ada seorang, yang jika diselamatkan dan diserahkan hidupnya pada Tuhan, dapat menjadi terang yang bersinar bersama Henry Martyn dalam sejarah Kristen.

Bayangkan sukacita saudarinya ketika dia menerima sebuah surat dari Henry yang berkata, “Kamu telah menjadi sebuah alat dalam tangan ilahi yaitu telah membawa saya untuk membawa hal yang serius. Terpujilah Allah, saya sekarang mengalami bahwa Kristus adalah kekuatan Allah menuju keselamatan.

Martyn sekarang mengkhususkan diri sepenuhnya bagi pelayanan Kristus. Ada tiga orang dalam hidupnya yang mempengaruhinya sehingga ia menyerahkan hidupnya bagi Tuhan: (1) Charles Simeon mempengaruhinya melalui khotbah yang berjudul Rumah-rumah yang terhilang dari orang-orang fasik; (2) Hatinya dikobarkan oleh kisah pelayanan William Carey di India; (3) Mungkin pengaruh yang terbesar melalui membaca buku tentang David Brainerd. Brainerd juga seorang muda yang melupakan kemudahan dan kekayaan hidup untuk mengabarkan Injil kepada orang-orang Indian walaupun dalam kesusahan yang luar biasa. Sesudah lima tahun menjalani kesengsaraan, dia pulang dengan terseok-seok dan meninggal dalam pelukan putri Jonathan Edward, yang adalah tunangannya. Namun rencana Martyn untuk menjadi seorang misionari hampir digagalkan oleh hilangnya hak warisnya. Kini dia tidak dapat lagi menghidupi saudarinya dan dirinya sendiri hanya dengan upah seorang misionari. Ditambah lagi ia tergila-gila pada Lydia Grenfell, yang sangat ditentang ibunya karena tidak mau putrinya tinggal di negeri yang jauh.

Cintanya pada Lydia dan panggilannya untuk melayani sebagai misionari sepertinya bertolak belakang. Sesudah bergumul sekian lama, panggilannya untuk melayani menang dan dia berangkat ke India pada tahun 1805.

BUNDELAN API DITARUH PADA LILIN INDIA

Sambil kapalnya menjauh ke arah lautan dan kehidupannya memudar dari pandangannya, Martyn menangis seperti seorang anak kecil. Ia bagaikan kecapi yang terdiri dari ribuan senar-senar yang sensitif, namun tidak ada suatupun yang dapat menyimpangkannya dari jalan yang telah ditetapkan baginya. Ia adalah puntung yang diambil dari api demi suatu tujuan mulia. Ulang dan ulang lagi ia mengucapkan doa, “Biarlah saya menjadi nyala api dalam pelayanan ilahi.”

Suatu perjalanan kapal, perpindahan bujur atau lintang tidak menciptakan seorang misionari atau menimbulkan semangat menginjil. Martyn telah memiliki semangat itu jauh sebelum ia berangkat. Di kapal ia tidak jemu-jemu berkhotbah, walaupun tanpa restu sang kapten. Ia begitu sering berbicara mengenai “dosa, kebenaran, dan penghukuman” hingga perkataan itu menjadi populer di kapal. “Si Martyn ini menghukum kita di neraka tiap minggu,” demikian kata mereka. Ia amat terkejut dan sedih dengan keacuhan para awak kapal yang tidak menghiraukan kebaktian, yang malahan mabuk di kabin mereka. “Ini mempersiapkan saya,” kata Martyn, “untuk berkhotbah kepada orang-orang fasik yang acuh-tak-acuh.”

Dia telah meninggalkan Lydia di Inggris, namun ia tidak meninggalkan cintanya. Terus memikirkannya ia menulis, “Dunia ini telah menangkap jiwaku. Kini aku di tengah-tengah api, bertarung sengit.”

Sesampainya di India, dia dijemput oleh William Carey. Selain Carey dan rekan-rekan pembantunya, Marshman dan Ward, dua orang Kristen terpenting di Calcutta adalah Claudius Buchannan dan David Brown. Khotbah Buchannan “BintangNya di Timur” yang diterbitkanlah yang menginspirasikan Adoniram Judson untuk pergi ke “ujung bumi” demi yang sesat. Bersama David Brown dan istrinya, Martyn menemukan rumah pertamanya di India. Brown kemudian menulis kepada seorang sahabat, “Martyn tinggal bersamaku lima bulan, dan belum pernah kulihat seorang anak muda yang pikirannya begitu surgawi.”

Teman-temannya mendorongnya untuk tinggal di Calcutta, tetapi ia, seperti Paulus, rindu pergi ke tempat yang belum pernah mendengar injil Kristus. Oleh sebab itu ia bersukacita ketika mendengar bahwa ia dipindahkan ke Dinapore, suatu stasiun yang agak jauh ke hulu sungai Ganges. Ia membuka sekolah, membagikan traktat, dan dengan berbagai cara berusaha menyebarkan injil kepada bangsa India yang terhilang.

Ia juga sangat terbeban untuk saudara-saudaranya sebangsa yang bertugas di situ sebagai prajurit. Ia bersedih atas keduniawian dan kebobrokan moral mereka, ia mengkhotbahi mereka dari Roma 3:21-23 dan perikop-perikop serupa, menujukkan tragedi dosa, perlunya pertobatan, dan kepenuhan hidup dalam Kristus. Ini membangkitkan perlawanan yang berat dari mereka, sama seperti yang terjadi di semua tempat dimana orang-orangnya tidak mencintai Tuhan dan jiwa-jiwa yang hilang. “Aku berdiri sendiri,” Martyn menulis, “tidak satu suarapun terdengar yang mendoakanku sukses dalam nama Tuhan.”

Hidupnya sebagai misionari ditandai dengan doa yang tak putus-putusnya. Baginya doa bukanlah formalitas religius, namun persekutuan kudus, media untuk menyalurkan kedamaian dan kekuatan surgawi ke bumi, dan alat untuk memenangkan hati-hati yang keras bagai batu dan musuh-musuh jahat.

Martyn memberikan seluruh dirinya, karena ia tahu bahwa “malam segera tiba”. Sudah ada tanda-tanda bahwa kesehatannya dengan cepat memburuk. Ia sering terhuyung-huyung oleh demam dan penyakit lainnya atau dari kelelahan. Semangat yang membakar digabung dengan rasa urgensi membuat dia melipat gandakan usahanya untuk menerjemahkan Alkitab ke bahasa Hidustani, Arab, dan Persia. Ia memohon kepada orang-orang India untuk berbalik dari berhala-berhala mereka dan dari praktek-praktek setan mereka kepada Tuhan yang kasih, hidup, dan menyelamatkan. “Betapa hidup yang terkutuk,” ia berseru, “jika aku tidak mengerahkan diri dari pagi hingga malam di tempat yang tampaknya aku sendirilah satu-satunya terang.”

Seseorang menulis tentang dia, “Ia berkhotbah seperti seorang yang tidak akan pernah berkhotbah lagi.”

Dan seperti seroang yang sedang mati kepada orang-orang yang sedang mati.

BUNDELAN API HABIS TERBAKAR

Sungguh dia adalah seorang yang sedang sekarat. Penyakit paru-paru lamanya kumat dengan gejala yang serius. Suaranya menjadi hampir tidak terdengar. Ia terlihat seperti bayangan yang pucat. Tetapi tidak ada yang dapat memadamkan semangatnya kecuali kematian sendiri. Ia berangkat ke Arabia dan Persia, untuk mendapatkan sendiri pertolongan demi perbaikan Kitab Suci yang dia terjemahkan ke dalam berbagai bahasa di daerah yang luas itu. Di Persia dia membahayakan hidupnya banyak kali menghadapi para Muslim yang garang dan sangat marah, sambil mengajak mereka percaya pada Yesus Kristus yang telah “mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darahnya.”

Dalam semangatnya, Martyn pergi ke istana sang Shah, penguasa seluruh Persia. Ketika dia berkhotbah, para pendengarnya menjadi sangat marah dan melontarkan ancaman-ancaman gelap padanya. Tiba-tiba, sang Hizier, atau Perdana Menteri, melangkah maju dan menantang orang putih itu untuk mengucapkan kalimat syahadah Islam. “Katakan Allah ialah Tuhan dan Muhammad adalah nabi Allah!” ia memaksa. Saat itu sungguh menegangkan. Seluruh mata di istana tertuju pada Martyn. Siapa pun di antara mereka dapat dengan mudahnya membunuh dia dengan satu tebasan pedang, dan dengan demikian akan menghapuskan dari dunia seorang “penyesat” jahat dan mendapatkan kunci surga. Martyn tergoda untuk menunda. Bukankah sangat bijaksana untuk tidakmengatakan apa-apa dan membiarkan orang ramai menjadi tenang? Hapuskan pikiran itu! Ia lebih baik mati dari pada menyangkal Tuhannya, baik dengan kata-kata maupun dengan cara diam. Sambil berdiri dan mengangkat tangannya, dan dengan pancaran surgawi pada mukanya, ia membuat pengakuan: “Allah adalah Tuhan dan Yesus adalah Anak Allah.” Dan sambil orang ramai menggertakkan gigi mereka dan mengutuki dia, ia pergi dari tempat itu.

Henry Martyn, sekarang, sama seperti dulu --

Sebuah pucuk yang diambil dari api yang membakar!
Sebuah pucuk yang diselamatkan untuk tujuan tinggi!
Sebuah pucuk yang bersinar bagi Kristus!

Tersiksa oleh rasa sakit dan batuk darah, ia memaksa dirinya menyeberangi padang gurun. Angin gurun sunguh panas, tetapi api yang lebih panas lagi membakar dalam jiwanya. Dalam sebuah surat, David Brown berkata, “Kamu sedang terbakar dengan intensitas dan kecepatan nyala api fosfor.” Dalam jurnalnya, Martyn menulis: “Jika saya menyelesaikan Perjanjian Baru Persia, hidup saya setelah itu akan tidak begitu penting lagi. Tetapi, apakah hidup ataupun mati yang menjadi bagianku, baiklah Kristus dimuliakan dalamku. Jika Ia memiliki pekerjaan bagiku, saya tidak dapat mati.”

Pada tanggal 1 Oktober 1812, ia menulis dalam buku hariannya, “Oh Tuhan, kehendakMu jadi! Hidup, mati, ingatlah aku!” Pada tanggal 16 bulan itu, tanpa teman yang dapat membagi kesepiannya atau untuk membacakan padanya kata-kata penghiburan dari Alkitab, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Hampir tidak mungkin membaca catatan terakhirnya, ditulis dengan tangan yang gemetar, tanpa mencucurkan air mata. “Saya berpikir dengan penghiburan manis dan damai Allahku, Temanku, Sahabatku, dan Penghiburku. Oh, kapankah waktu akan ditelan oleh kekekalan! Kapan langit baru dan bumi baru akan muncul, di mana kebenaran tinggal selamanya!”

Lord Macaulay, yang memakai kemampuannya yang sangat tinggi untuk mencatat dan memelihara sejarah yang telah dibuat oleh orang-orang lain, menuliskan kata-kata ini bagi kuburan Timur yang sepi itu.

Di sinilah Martyn berbaring! Dalam fajar kedewasaan seorang lelaki, sang pahlawan Kristen mendapatkan kuburan para penyembah berhala.

Agama, bersedih karena kehilangan anak kesayangannya, menunjuk pada piala-piala mulia yang telah ia menangkan.

Piala abadi, bukan dengan kekerasan, tidak juga ternoda oleh pencurahan darah.

Tetapi piala Salib. Demi Nama tersayang itu, melalui semua bentuk bahaya, kematian, dan malu.

Maju ia berjalan ke pantai yang bahagia, di mana bahaya, kematian, dan malu tidak dikenal lagi.

Piala mulia! Piala kekal! Piala-piala salib!

Piala-piala seperti itu dimenangkan dengan harga yang mahal. Sebuah pucukmemberikan panas dan terang dengan cara terbakar. Dalam memberikan terang bagi yang lain, Henry Martyn telah habis terbakar.

Pucuk yang dihargai oleh sang Juruselamat, diselamatkan oleh tanganNya yang penuh kasih, dan bagaikan lilin, habir terbakar. Tetapi apa yang rugi? Karenanya nyalanya, ribuan telah mendapat terang dan menyalakan obor pengabdian bagi Kristus, sehingga mereka pun membawa terang bagi begitu banyak yang menunggu dalam kegelapan.

Tidak ada komentar:

Supported By

Share Link

IFB KJV Directory