Sabtu, 08 November 2008

Robert Morrison; Pemberita Musik yang Tak Tertandingi

“O batu-batu! Kapankah engkau akan terbuka?” Ini adalah tangisan putus asa dari (seorang Roma Katolik yang sesat) Xavier pada tahun 1552 ketika ia terbaring sekarat karena demam di Pulau Sancian, di mana dari pulau itu terlihat garis pantai terlarang negeri China. “O batu yang teguh! Batu yang tak tertembus! Kapan engkau akan terbuka untuk Tuhanku?” adalah ratapan penuh hasrat dari Valignini, penerus Xavier, ketika ia memandang dengan sedih di tepi pantai yang sama yang tak dapat dimasuki. Tertutup oleh pegunungan Tibet di Barat, oleh Tembok Besar dan padang gurun Gobi di Utara, oleh samudera yang dalam di Timur, oleh lautan dan gunung-gunung yang tinggi di Selatan, dan oleh sikap rakyat di sana yang sangat tertutup, China telah berabad-abad menjadi batu besar yang tertutup bagi pekabaran salib Kristus; dan keadaan seperti itu berlanjut selama lebih dari 2,5 abad.

Pada tahun 1813 seorang pria Inggris dan Asisten Tionghoanya, Ako, duduk di sebuah meja di dalam kamar yang penuh dengan buku-buku, di kota Kanton. Hari itu malam dan jendela-jendela ditutup dengan hati-hati agar cahaya di kamar tidak terlihat dari luar. Meja itu tertutupi oleh buku-buku dan manuskrip-manuskrip.


‘Tuan,” kata pria muda itu, “Mengapa engkau tetap meneruskan pekerjaan penerjemahan dengan resiko bahaya seperti itu? Jika ternyata diketahui bahwa engkau adalah seorang misionari yang sedang menyamar, bahwa engkau mempelajari bahasa Mandarin dan menerjemahkan kitab suci Kristen, dan jika engkau jatuh ke tangan orang-orang Cina, engkau pasti akan dibunuh menurut aturan-aturan dan praktek-praktek pemerintahan kami. Apakah engkau tidak melihat bahwa tanah kami dan hati rakyat kami tertutup rapat untukmu dan untuk agamamu?”

“Ya,” jawab orang asing itu;” Tetapi ada tertulis, “Bukankah Firman-Ku seperti api? Kata Tuhan; dan seperti sebuah palu yang menghancurkan batu hingga berkeping-keping? (Yer 23:29). Kitab ini adalah satu-satunya yang dapat membakar gerbang-gerbang tembaga dan menembus tembok-tembok batu. Saya tidak dapat berkhotbah kepada orang-orang di sini, tetapi saya dapat secara diam-diam menerjemahkan dan mengedarkan Buku ini, dengan sebuah keyakinan bahwa pesan ilahinya. Lihatlah, Ako, pada ayat yang kita baru saja selesai terjemahkan: “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan padamu!” (Mat 11:28). Ketika hatiku sendiri sekeras batu dan dulu aku adalah seorang budak dosa, ayat ini menusuk jiwa saya, menghancurkan belenggu saya, dan mengenalkan saya kepada Kristus. Demikianlah hidupku berubah seluruhnya. Tidakkah ayat ini bersinar juga di dalam jiwamu, Ako, dengan keindahan permata yang tak ternilai? Tidakkah ayat ini bernyanyi di hatimu dengan musik yang tak ada tandingannya? Ketika kamu membaca ayat ini, tidakkah engkau mendengar sebuah suara yang lembut menawarkan pemenuhan atas apa yang kamu tahu adalah hal yang paling kamu perlukan?”

Permata yang tak ternilai!
Musik yang tak ada tandingannya!
Sebuah suara yang penuh dengan kelembutan!

Pria yang sungguh-sungguh memohon untuk memenangkan jiwa bagi Tuhan, dan yang memiliki semangat yang membara, dan yang akhirnya memenangkan A-ko sebagai petobat pertamanya, adalah Robert Morrison, Misionari Protestan pertama ke Cathay – panggilan untuk China dahulu kala. Ayat kitab suci yang begitu dicintainya juga telah menjadi ayat favorit bagi jutaan orang. Augustine, seorang penilik Kristen di Afrika Utara pada abad kelima, berkata: “Saya telah membaca dalam karya-karya Plato dan Cicero banyak perkataan yang sangat bijaksana dan sangat indah, tetapi tidak pernah saya baca di karya-karya mereka kata-kata seperti ini: ‘Marilah kepada-Ku, semua kalian yang letih lesu dan berbeban berat, dan Aku akan memberikanmu kelegaan’”

Robert Morrison memiliki alasan yang cukup untuk mencintai ayat itu. Ayat itu adalah


SUARA PELEPASAN BAGI JIWANYA YANG PENAT

Robert Morrison dilahirkan di Morpheth, Inggris, 5 Januari, 1782. Ayahnya adalah seorang petani yang ketika Robert berumur 3 tahun pindah ke Newcastle untuk menjadi seorang pembuat sepatu boot yang terakhir. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Robert diajarkan tentang bisnis ayahnya pada umur 14 dan belajar sebagai seorang muda arti dari bekerja dengan penuh tuntutan selama berjam-jam, jam kerjanya biasanya mulai dari jam 6 pagi hingga jam 6 atau 7 malam. Memiliki hasrat besar akan pengetahuan, ia sering membaca buku sembunyi-sembunyi di bangku kerjanya dan seringkali ia begitu terhisap di dalam bacaannya hingga larut malam.

Faktor lain yang memberntuk karakternya dapat ditemukan dalam tradisi sejarah dan pergaulan-pergaulan pada masa mudanya. Kastil-kastil Northumbria, menara-menaranya yang sudah terkelupas catnya dan tembok Romawi menceritakan tentang hari-hari yang penuh kepahlawanan. Di Jarrow dulu pernah hidup Bede yang sangat dihormati, yang telah bekerja hingga ajal menjemputnya untuk menerjemahkan kitab Yohanes ke dalam bahasa penduduk setempat. Pahlawan iman Northumbria lainnya adalah penilik Ridley yang tua dan berani, yang dibakar hidup-hidup secara perlahan hingga mati demi Kristus di Baliol College di Oxford. Dan tidak terlalu jauh, tepat di garis pantai pulau Northumbria, terdapat Lindisfarne, Pulau Suci, di mana para biarawan Columban telah membuat sebuah tempat tinggal kesalehan, yakni sebuah rumah pembelajaran dan pusat pendidikan para misionari di dalam zaman yang gelap dan tak bertuhan ini.

Orang tua Robert adalah orang Kristen yang sungguh-sungguh, ayahnya adalah seorang penatua yang dihormati di Gereja Presbyterian dan penyelenggara persekutuan doa yang bertemu setiap hari Senin malam di tempat kerjanya; Robert belajar berdoa di “akademi terbaik,” di lutut ibunya. Di usia yang dini ia mulai membaca Alkitab dan menghafal ayat-ayat tertentu. Walaupun ia bukanlah seorang yang memiliki pikiran yang brilian, ia menyelesaikan setiap tugas yang diberikan dengan ketekadan hati yang luar biasa. Demikianlah, pada umur 12 tahun, dia mengulangi hafalannya di gereja pada Sabtu malam 176 ayat dari Mazmur 119.

Pada umur 15, Robert menjadi sadar betapa serius dosanya. “Rasa takut akan kematian menguasai aku,” katanya, “ dan aku dipimpin untuk berseru kepada Allah agar Ia mau mengampuni dosaku.” Ia sedang memikirkan akan dosa-dosa yang telah ia lakukan ketika ia bergaul dengan teman-teman yang tidak mengenal Tuhan –dosa mengumpat, memikirkan hal-hal buruk, dan minum minuman keras, tetapi ia juga memikirkan dosa dari hatinya yang belum diperbaharui. Begitu hebat beban itu, hingga ia merasa terhimpit di bawahnya.

Selama krisis ini Robert mendengar dan memperhatikan musik yang tak ada tandingan dari ayat Mat 11:28. Dalam bahasa yang mengharukan ia menggambarkan peristiwa itu:

“O Yesus, lama telah aku cari kelegaan untuk jiwaku yang abadi, di satu waktu dalam daya tarik ‘hawa nafsu kedagingan’ dan di waktu lain dalam ‘hawa nafsu pikiran.’ Ketika masih sangat muda, aku dahulu adalah teman dari para pemabuk, pelanggar Sabat, pengumpat, orang yang cemar; tetapi atas hal-hal inilah hatiku memukulku, saya tidak memiliki ketenangan. Kemudian aku menjadikan pengetahuan dan buku-buku sebagai Allahku; tetapi semuanya sia-sia! Aku datang kepada-Mu karena Engkau telah berkata: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat dan Aku akan memberikan kelegaan kepadamu! Lelah dengan pengejaran kebahagiaan yang tak berhasil dan terbeban dengan rasa bersalah, aku datang kepadaMun, Yesus, Engkau Putra Allah, agar aku boleh disegarkan dan bebanku diangkat. “Yesus! Tuhanku, Engkau memiliki semua yang dimiliki oleh Allah yang kekal! Oh! Bawalah jiwaku yang lelah menjadi tenang, hapuskanlah rasa bersalahku, beban yang berat itu!”

Demikianlah hatinya mulai bernyanyi berulang-ulang.
Musik yang tak ada tandingannya!
Musik yang membujuk dia datang kepada Juruselamat!
Musik yang mengangkat beban beratnya!
Musik yang menyegarkan jiwanya yang penat!

Setelah pengalaman yang begitu penting dan tak terlukiskan itu, tidaklah mengejutkan apabila Mat 11:28 digoreskan di atas Pintu Gerbang perjalanan rohani Robert Morrison.

Kata-kata Keselamatan bagi teman-teman pendosanya

Setelah pertobatannya, Morisson muda dengan cepat bergabung dengan Gereja Presbyterian, bergabung dengan Persekutuan Doa, menjadi seorang pelajar Kitab Suci, dan mulai menunjukkan dengan jelas kepedulian yang nyata terhadap keselamatan jiwa-jiwa yang terhilang. “O Allah, Juruselamatku,” ia berdoa, “Kobarkan dalam diriku kasih kepada jiwa-jiwa teman-teman pendosaku yang malang.” Ia berbicara mengenai kasih ilahi kepada seorang sanak familinya yang masih muda, seorang pelaut, dengan cara yang begitu mendesak, sehingga kata-katanya bergema di telinga pria muda itu siang dan malam hingga ia bertobat dan menyerah kepada Juruselamat.

Dengan cara yang serupa, seorang pelayan rumah perempuan di dalam keluarga mereka dibawa hingga menerima injil dan meninggal tidak berapa lama kemudian, bersukacita di dalam Kristus. Kepeduliannya terhadap sanak saudara yang belum diselamatkan memimpinnya pada banyak doa, air mata, dan usaha-usaha yang rajin. Demikianlah ia menulis kepada salah seorang dari saudara-saudara perempuannya. “Hannah-ku yang terkasih, pikirkanlah jiwamu sekarang, letakkan surga dan neraka dan Juruselamat di hadapanmu. Aku ragu-ragu akan dirimu, jangan-jangan engkau masih belum bertobat. Maafkan aku, maafkan aku; aku berbicara bukan dalam kekerasan, tetapi dalam kasih terhadap jiwamu yang berharga. Datanglah kepada Yesus, Hannah; datanglah kepada Yesus.”

“Datanglah kepada-Ku!” kata tawaran lembut Keselamatan.
“Datanglah kepada Yesus!” gema seseorang yang telah merasakan kebahagiaannya.

Kerinduan Morrison untuk memenangkan jiwa yang terhilang semakin kuat ketika ia semakin mengerti akan Firman Allah. Diajar oleh Roh Kudus, dia melihat bahwa Mat 11:28 dan kitab Wahyu 22:17 adalah satu bagian kebenaran yang luar biasa yang tidak dapat dipecah-pecahkan. “Mari!” kata Mat 11:28. “Dan barangsiapa yang mendengarnya, hendaklah ia berkata: ‘Marilah!’” kitab Wahyu 22:17 menambahkan.

Mendengar harus diikuti dengan mengatakan. Adalah harapan Kristus bahwa semua yang pernah mendengar panggilan kasih yang lembut akan mengulangi undangan yang lembut itu; bahwa semua yang pernah mendengar aksen Juruselamat yang lembut “Marilah!” akan terlebih lagi menyanyikan kepada jiwa-jiwa penat lainnya nyanyian manis kisah penebusan. Di bawah dorongan penemuan yang sangat penting ini, tuntutan pelayanan Injil sebagai sebuah pekerjaan hidupnya semakin menarik Morrison dengan kuat. Tetapi tuntutan dari panggilan yang begitu tinggi itu hampir membuatnya kewalahan. Untuk mengambil keputusannya, ia menyerahkan dirinya untuk melalui ujian yang paling lengkap sebagaimana yang dinyatakan dari kutipan dalam catatan hariannya:

“Apakah engkau, jiwaku, menginginkan pekerjaan sebagai pelayan Kristus? Apakah saya sungguh tahu apa arti Kristus bagiku? Apakah Roh Kudus telah mengosongkan diriku dari egoku dalam segala bentuk? Apakah aku melakukan ini untuk kehormatanku sendiri atau aku dipanggil oleh Allah seperti Harun? Apakah Kristus mengutus aku dan meletakkan sebuah keinginan mendesak di dalam diriku untuk memberitakan Injil? Apakah ia meniup jiwaku sehingga membuatku menerima Roh Kudus? Apakah Ia memenuhi aku dengan belas kasihan yang amat sangat terhadap jiwa-jiwa manusia, sebuah perasaan yang kuat akan ketidaklayakkan-ku, sebuah keinginan yang tulus untuk dilayakkan dan dikuduskan sebagai alat Tuhanku, dan sebuah keinginan yang sukarela untuk menderita kemiskinan, penghinaan, dan kebencian dari orang-orang demi Kristus?”

Setelah waktu pengamatan dan doa yang panjang, Morrison menyimpulkan bahwa ia sungguh-sungguh dipanggil Allah “untuk melayani Injil Kristus.” Keputusan ini memimpinnya ke London untuk menjadi seorang pelajar di Akademi Hoxton, sebuah institusi untuk pelatihan para pelayan Tuhan aliran Congregational. Ia menerapkan aplikasi dari pembelajarannya dengan tugas-tugas berkhotbah yang diberikan oleh London Itinerant Society. Khotbah-khotbah, percakapan-percakapan, dan surat-suratnya penuh dengan semangat memberitakan satu tema yang abadi – perlunya Kristus dan tuntutan Injil. Kata-kata berikut adalah ciri khasnya:

“Ketika kita melihat ke belakang akan dosa masa muda kita, sungguh kita mempunyai alasan yang berlimpah untuk malu dan berseru, “Tuhan, janganlah ingat akan hal itu.” Tahun-tahun yang terus bergulir dan berlalu mengingatkan kita bahwa keabadian sedang mendekat. O, siapakah yang tahu, atau yang merasakan, kuasa dan arti yang sesungguhnya dari kata keabadian? Siapa yang pernah menimbang dua ekstrim, ‘hukuman yang kekal’ dan ‘hidup yang kekal’? O kiranya engkau dapat berlaku seperti seharusnya seorang berdosa yang menyedihkan berlaku – datang kepada Kristus untuk berlindung.”

“Marilah kepada-Ku!” kata nats itu.

Undangan Kasih Ilahi kepada semua manusia

Berbagai pengaruh bergabung, di bawah pekerjaan Roh Kudus, untuk lebih memperluas pikiran Morrison akan lingkaran yang lebih luas kepada siapa injil harus diberitakan. Pada umur 17 tahun, dia sangat tergerak ketika membaca Evangelical Magazine dan Missionary Magazine mengenai pekerjaan William Carey dan misionaris-misionaris lainnnya. Berjumpa di London dengan misionari yang telah kembali dengan membawa serta beberapa petobat Hottentot mengintensifkan ketertarikan misinya dan memimpinnya untuk mencari kehendak Allah bagi dirinya.

“Tuhan Yesus,” ia menulis, “Aku telah menyerahkan diriku untuk pelayanan-Mu. Pertanyaan dalamku kini adalah, ke mana aku harus melayani Engkau? Aku belajar dari Firman-Mu bahwa adalah kesenangan-Mu bahwa Injil akan diberitakan kepada semua orang di dunia. Keinginanku, O, Tuhan, adalah untuk terjun di tempat yang paling membutuhkan pekerja dan di ladang yang paling sulit. Mampukan aku untuk membayar harganya, dan selamatkan aku dari setiap motif kecuali keinginan untuk melayani Engkau dan untuk mempromosikan kesejahteraan jiwa-jiwa manusia.”

Kata “semua” nampaknya muncul dengan sebuah signifikansi baru , ketika Morrison mencerna bahwa ke-universalitas-an dosa, undangan Injil, dan pengutusan Kristus adalah sama-sama luas.

“Semua telah berdosa” menyatakan kebutuhan akan Injil yang universal

“Marilah kepada-Ku…kalian SEMUA” menyatakan tawaran Injil yang universal.

“Ke seluruh dunia” menyatakan jangkauan Injil yang universal.

Morrison akhrinya yakin secara penuh bahwa Allah telah menunjuknya untuk menjadi seorang pemberita Injil kepada suatu negara di seberang lautan. Demikianlah, ia membuat lamaran ke London Missionary Society utnuk penerimaan sebagai seorang misionari. Ia diangkat pada tanggal 28 Mei, 1804, dan langsung diproses ke Missionary Academy di Gosport. Pada bulan Agustus, 1805, ia pergi ke London untuk mempelajari pengobatan, astronomi, dan bahasa Mandarin, karena China telah diputuskan sebagai ladang pelayanannya. Para staf di Society sadar bahwa seorang pendukung kekristenan tidak akan diizinkan dalam kondisi apapun untuk berkhotbah di setiap bagian di China, sehingga mereka menugaskan Morrison, misionary muda itu utnuk menguasai bahasa Mandarin dan menerjemahkan Kitab Suci kedalam bahasa itu. Mata dan hati dari misionari muda yang ditunjuk itu, bagaimanapun, ditujukan bukan kepada apapun selain keselamatan 350.000.000 orang-orang China. Gambarannya akan kebesaran dan keagungan dari tugas yang diembannya diindikasikan dalam pernyataannya:

“Raja Inggris memiliki banyak urusan di negeri-negeri asing, perdagangan, politik dan perang, dan adalah kemaluan bagi Inggris jika ia tidak dapat menemukan orang-orang yang mampu dan diterangi pikirannya dan para pelayan veteran untuk berjuang di misi-misi yang sangat penting ini. Dan Raja Zion memiliki urusan yang penting di seluruh negeri; mengabarkan belas kasihan yang mengampuni kepada mereka yang bersalah; akan damai kepada musuh yang paling sengit; akan keselamatan kepada para pendosa yang tengah binasa; akan konflik dengan kekuatan kegelapan di mana Setan dan berhala-berhala bertahta; dan adalah hal yang memalukan bagi Zion kita bahwa ia tidak mengirim orang-orang yang paling mampu dan paling bijak dan paling kudus dari para pelayannya.”

Memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Kanton dengan singgah di Amerika Serikat, Morrison berlayar dari Gravesend tanggal 31 Januari 1807, dan setelah sebuah perjalanan yang bergelombang hebat selama 109 hari, ia mencapai kota New York. Di aman di sana ia menerima banyak kebaikan, tetapi sikap dari salah seorang pedagang yang bercakap-cakap dengan dia sangat jauh dari memberinya semangat. Dengan sebuah raut muka yang nampak terkejut yang di wajahnya, pedagang itu berkata, “Jadi, Tuan Morrison, apa anda sungguh berharap bahwa anda dapat membuat sebuah pengaruh pada penyembahan berhala dari kekaisaran China yang besar itu?” “Tidak, tuan,” kata Morrison, “tetapi saya berharap Allah akan melakukannya.”

“Kemarin aku tiba di Canton . . . Aku meninggalkan Mary tersayang dalam keadaan tidak sehat, pikirannya yang lemah seringkali terganggu. O Tuhan, tolong dia dan berbelas kasihan-lah kepadanya demi Yesus Kristus.”

Kegelisahan berubah menjadi kedukaan, karena putra pertama mereka meninggal ketika dilahirkan.

Morrison berhasrat untuk mencurahkan seluruh waktu dan tenaganya pada pekerjaan mulia penerjemahan Kitab Suci.Walaupun demikian, ia menerima pekerjaan sebagai penerjemah bagi East India Company karena hal tersebut akan membebaskan orang-orang Kristen di Inggris dari beban finansial untuk mensupport-nya dan akan memberikan kepadanya keamanan tinggal di Canton. Adalah suatu hal yang pasti, jika bukan karena penunjukkan itu, tujuan sebenarnya ia datang akan diketahui oleh orang-orang China dan ia akan segera dipaksa untuk meninggalkan negeri ini.

Orang-orang asing dibatasi dengan ketat di area yang bernama Whangpoa, di mana pabrik-pabrik berada. Mereka tidak dapat memasuki Canton kecuali terlibat di dalam urusan bisnis yang penting. Ketika Morrison menjalankan tugasnya, berjalan-jalan mengelilingi Canton, ia melihat banyak hal yang menyedihkan jiwanya.

“Hatiku sedih,” katanya, “karena takhayul-takhayul dan ritual-ritual berhala dari masyarakat. Mereka memiliki, di satu jalan dan jalan lainnya, dan kepada satu iblis atau iblis lainnya, secara rutin hiasan-hiasan, musik, pertunjukan-pertunjukan teater yang mengagumkan di hadapan berhala mereka, sesajian berupa buah-buahan, anggur, unggas, dan babi panggang diletakkan di depan berhala-berhala itu, dan lilin, kertas dan kembang api yang terbakar. Saya telah melihat mereka mencemarkan diri mereka sendiri kepada bulan purnama, menuangkan anggur yang dipersembahkan dan mempersembahkan buah-buahan kepada bulan. O betapa patut disesalkannya situasi jutaan orang China yang tidak mengenal Tuhan kita Yesus. Ini bukanlah waktunya untuk berpangku tangan. Kita tidak boleh menahan diri kita untuk mengeluarkan kebenaran Injil di antara orang-orang yang tidak peduli, tertipu, dan bersalah. O Kalvari! Kalvari! O Juru Selamatku! Kiranya kasih-Mu mengurungku, bukan untuk hidup demi diriku sendiri, tetapi untuk-Mu.”

Karena kebutuhan yang mengerikan, pikiran Misionari itu berpaling, bak halnya insting, kepada tema dari seluruh pengharapan dan kerinduannya. Ia sedang berpikir akan –

Musik yang tak ada tandingannya!

Musik dari Kalvari!

Musik dari kasih Juruselamat!

Musik dari undangan injil kepada SELURUH manusia!

Sementara dengan tekun berjuang di dalam pekerjaan mempersiapkan kamus bahasa Mandarin dan menerjemahkan Kitab Suci, Morrison berusaha sungguh-sungguh untuk memimpin beberapa orang China, yang dari waktu ke waktu menolongnya untuk belajar bahasa dan menerjemahkan, kepada Kristus. Ia beriman bahwa suatu hari akan ada jutaan orang China Kristen, tetapi ia rindu untuk melihat beberapa buah dari usahanya. Oleh karena itu, adalah waktu dengan sukacita yang amat sangat dan membangkitkan semangat ketika hampir selama 6 tahun semenjak kedatangannya di Canton, ia diberikan kesempatan istimewa untuk membaptis petobat pertamanya, Tsae A-Ko. Hal tersebut terjadi pada tanggal 16 Juli 1814. Mengenai peristiwa yang menggembirakan ini, Morrison berkata:

“Oh, kiranya Tuhan membersihkan dia dari seluruh dosanya di dalam darah Yesus, dan menyucikan hatinya dengan pengaruh dari Roh Kudus. Biarlah ia menjadi buah sulung dari penuaian besar; satu dari jutaan orang yang akan percaya dan akan diselamatkan dari murka yang akan datang.”

Di bulan Januari 1815, Nyonya Morrison bersama dengan dua anaknya berlayar ke Inggris, untuk memulihkan kesehatannya yang membuatnya berada jauh dari China selama enam tahun. Sekarang Morrison benar-benar merasa sangat kesepian, senantiasa berada dalam ketakutan, lelah di dalam jiwanya dan terserang sakit kepala yang parah. Dalam sebuah surat kepada seorang teman di Amerika, ia menyatakan:

“Saya masih berjuang dalam penerjemahan dan menyelesaikan kamus, yang sungguh adalah pekerjaan yang melelahkan. Semangat dan ketekunanku hampir saja menggagalkanku . . . Saya sangat kesepian di sini . . . Aku selalu berada di bawah ancaman tangan para penindas, dan lebih daripada itu, penduduk asli yang menemaniku diburu dari satu tempat ke tempat lainnya dan terkadang ditangkap. Aku telah berada di sini selama sepuluh tahun sekarang. Aku merasa diriku seperti orang tua . . . sungguh adalah sebuah berkat untuk memiliki harapan hidup yang kekal yang akan bersinar makin dan makin terang ketika kita memasuki lembah itu.”

Misionari yang kesepian, sakit, namun tidak mengenal lelah itu melanjutkan perjuangannya hingga ia menyelesaikan tugas besar menerjemahkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Mandarin pada tanggal 25 November 1819. Visi yang telah memberikannya semangat atas perjuangannya yang panjang dan kegembiraan jiwa yang telah menandai hasilnya yang sukses, dinyatakan dengan jelas dalam kata-kata yang ia tuliskan pada hari itu kepada pimpinan-pimpinan di Missionary Society di London:

“Saya percaya bahwa kegelapan yang suram akan ketidakpercayaan para penyembah berhala akan dihilangkan oleh fajar dari tempat tinggi, dan bahwa patung berhala Buddha yang dilapisi emas, dan patung-patung lain yang tak terhitung yang memenuhi negeri, suatu hari akan jatuh dengan pasti ke tanah, di hadapan kekuatan Firman Allah, sebagaimana berhala Dagon jatuh di hadapan Tabut Perjanjian.”

“Datanglah kepadaku!” desak nats itu. Morrison berjuang dalam pengharapan yang pasti bahwa melalui Firman yang telah diterjemahkan, banyak orang akan mendengar dan mengindahkan undangan yang tak ada tandingannya itu.

Panggilan Kristus Menuju Rumah Bapa

Walaupun Morrison lelah, ia melanjutkan pekerjaannya untuk mengembangkan Injil dengan pengabdian yang tak mengendur. Ia menyusun dan menerbitkan kamus bahasa Mandarin, dan mengumpulkan 10 petobat yang telah dibaptis sebagai benih dari penuaian besar, dan mendirikan Anglo-Chinese College di Malacca, sebuah pulau kepulauan Malaya. Di institusi ini petobat-petobat Chinese dilatih untuk mengabarkan Injil, dan sebuah percetakan didirikan. Melalui percetakan ini dihasilkan kamus-kamus, buku-buku bahasa, traktat-traktat, dan Kitab Suci – secara literal “jutaan halaman yang mengandung kebenaran dari injil yang kekal.” Mengingat tradisi dari Iona, sebuah pulau di tepi pantai kampung halamannya Northumbria, Morrison berkeinginan menjadikan Malacca sebagai “Iona dari negeri Timur”, -- sebuah terang Kristen di tengah-tengah kegelapan penyembah berhala, pusat dari kesalehan yang sejati, pusat bagi semangat membara yang kudus untuk peperangan para misionari. “Dengan iman” ia mendirikan pasukan dan alat perang untuk melawan hari itu, yang tidak terlihat, ketika ‘batu-batu’ China akan terbuka untuk Injil.

Perasaan yang kuat atas hal yang tak terlihat adalah karakteristik dari Robert Morrison. Matanya diarahkan akan hari depan dan harapannya berpusat pada hal-hal yang tak terlihat. Segera setelah pertobataannya ia mengekspresikan harapan yang tulus bahwa Tuhan yang sama yang telah membentangkan tangan-Nya “untuk mengangkat aku bagaikan puntung yang telah ditarik dari api” akan selalu “menjagaku dan membawaku ke tempat aman ke rumah impianku, rumah Bapa-Ku di sorga.” Ketika tiba di China, setelah perjalanan yang panjang, ia menulis : “Untuk mengapung sejauh 22.000 mil dengan aman, di atas beberapa papan yang dipaku bersama-sama dan disebut sebagai kapal, adalah sebuah keadaan yang seharusnya membangkitkan rasa terima kasih yang hangat; tetapi ah! Apalah artinya itu dibandingkan dengan melalui hidup ini yang penuh dengan lautan masalah, dan tiba di sorga beroleh ketenangan yang sejati!” Betapa cocoknya pesan terakhir yang ia siapkan sebelum meninggalkan kehidupan ini, 1 Agustus 1834, di Canton, adalah nats: “Di rumah Bapa-Ku ada banyak tempat tinggal...Aku pergi untuk menyediakan tempat bagimu...Aku akan datang lagi...sehingga di mana Aku berada, di sanalah engkau berada” (Yoh 14:2,3).

Karena kesehatannya yang memburuk, Nyonya Morrison dan anak-anaknya dipulangkan ke Inggris, dan demikianlah Morrison dan putra sulungnya sendirian di Canton. Seperti Martyn dan Brainerd, tidak diragukan lagi ia telah memperpendek hidupnya dengan kesetiannya yang amat teguh akan tugasnya, sehingga ia memasuki rumah Bapanya di umurnya yang ke-52.

Ketika bumi memudar dan pintu kekekalan terbuka, Robert Morrison mendengar sekali lagi alunan yang megah dari musik yang tak ada bandingannya.

Tidak ada komentar:

Supported By

Share Link

IFB KJV Directory