Rabu, 21 Januari 2009

JEMAAT (GEREJA) PAULICIAN DAN BOGOMIL (BAB 4)

Disesalkan bahwa kebanyakan informasi yang berhubungan dengan Paulician berasal dari musuh-musuh mereka. Sumbernya ada dua. Sumber pertama berasal dari para penulis Yunani, Photius (Adv. Recentiores Manichaeans, Hamburg, 1772) dan Petros Sikeliotes (Historia Manichaeorum qui Pauliciani, Ingolstadt, 1604), yang telah lama dikenal dan digunakan oleh Gibbon sebagai persiapan bab ke-54 karya sejarahnya gemilang. Sejak itu tidak banyak yang bisa ditambahkan dari sumber tersebut. Catatan tersebut sangat merugikan, dan meskipun Gibbon mencurigai kebencian dan racun dari para penulis itu, dan begitu banyak fitnah yang dinyatakan dengan jelas oleh penulis-penulis itu, ia sempat disesatkan oleh informasi-informasi tersebut. Ia tidak memiliki kelengkapan informasi yang dibutuhkan untuk menggambarkan secara lengkap sejarah mereka.

Sumber informasi yang kedua mengenai Paulician berasal dari daerah asalnya, Armenia dan baru-baru ini disoroti dan diberi ilustrasi. Ada sebuah buku tua Paulician yang berjudul “Key of Truth” (Kunci Kebenaran), yang disebutkan oleh Gregory Magistos pada abad sebelas. Kebetulan Mr. Fred C. Conybeare, M.A., mantan Fellow (mahasiswa tingkat doktoral yang mendapat bea siswa) of University College, Oxford, sangat tertarik dengan masalah Armenia. Ia berada di negeri tersebut untuk yang kedua kalinya pada 1891 untuk mencari dokumen-dokumen yang menggambarkan sejarah Paulician. Ia menemukan sebuah salinan “Key of Truth” di perpustakaan Holy Synod di Edjmiatzin. Ia mendapat salinan itu pada 1893; dan teks dengan terjemahan bahasa Inggris dicetak oleh Mr. Conybeare pada 1898. Ia juga menyertakan teks tersebut dengan data penting yang diterima dari sejarah Armenia dan sumber-sumber lainnya. Dapat dikatakan hal tersebut bukan saja sebuah sumber yang baru, namun merupakan sebuah sumber informasi yang sangat penting. Lama sekali Paulician baru diizinkan untuk dinyatakan, dengan patokan hanya untuk mereka sendiri. Karena itulah, kita bisa merekonstruksikan kembali sejarah Paulician.

Gereja Paulician berasal dari masa apostolik (para rasul), dan ditanamkan di Armenia pada abad pertama. “Keyakinan tersebut pasti telah menyebar ke Mesopotamia dan Persia melalui Antiokhia dan Palmyra; dan wilayah-wilayah tersebut menjadi basis keyakinan itu sementara ia menyebar di pegunungan Taurus sekitar gunung Ararat. Ini merupakan bentuk Kekristenan awal yang sederhana. Gereja-gereja di pegunungan Taurus membentuk sebuah ceruk raksasa atau bendungan bundar dimana iman Paulician mula-mula mengalir dan tertampung dan dipertahankan selama berabad-abad, karena mereka merupakan suatu bendungan air yang berasal dari sumbernya selama berabad-abad” (Bury’s edition of Gibbon’s History, VI, 543). Pusat Kekristenan yang paling awal di Armenia adalah di Taron, yang merupakan basis dan pusat operasi yang tetap kaum Paulician.
Mereka menyatakan diri berasal dari para rasul. “The Key of Truth” mengatakan:

Marilah kita berserah dengan rendah hati pada jemaat kudus semesta, dan mengikuti pekerjaan mereka yang telah bersatu pikiran dan satu iman serta mengajar kita. Karena kita masih tetap percaya dengan waktu yang tepat satu-satunya rahasia Tuhan Yesus Kristus dan Bapa Surgawi yang kudus dan sangat berharga: -- untuk bersaksi, pada saat bertobat dan dengan iman. Seperti yang telah kami pelajari dari Tuhan semesta alam dan jemaat apostolik, maka kami melanjutkan: kami membangun didalam iman sempurna mereka yang (sampai nanti) belum memiliki baptisan kudus (Catatan pinggir, maksudnya didalam bahasa Latin, Yunani dan Armenia, orang yang belum dibaptis); tidak merasakan tubuh atau meminum darah yang kudus dari Tuhan kita Yesus Kristus. Karena itu menurut Firman Tuhan, pertama kita harus membawa mereka untuk percaya, membuat mereka bertobat, dan memberikannya (Catatan pinggir, Baptisan) kepada mereka (hal. 76-77).

Mengenai butir ini, Adeney mengatakan: “Karena itu, sungguh dapat dipertahankan bahwa mereka seharusnya dihormati sebagai wakil dari kelompok Kristen yang paling primitif yang bertahan hidup” (Adeney, The Greek and Eastern Churches, 217). Selanjutnya ia mengatakan: “Kaum Baptis Oriental

purba merupakan orang-orang yang didalam banyak respek merupakan Protestan sebelum adanya Protestanisme” (Adeley, The Greek and Eastern Churches, 219).
Kaum Paulician tidak mengakui orang-orang dari kelompok lain sebagai jemaat. “Kami bukan bagian dari mereka,” kata mereka. “Mereka telah lama memutuskan hubungan dengan jemaat dan telah dikeluarkan.” Hal ini merupakan kesaksian dari Gregory Magistos, 1058 AD., yang karya sejarahnya merupakan salah satu sumber informasi utama.
Kita hanya dapat menyentuh sedikit peristiwa yang berhubungan dengan sejarah mereka. Kisah pertobatan Constantine, 660 AD. menarik. Anak muda Armenia ini menyembunyikan seorang diaken Kristen yang melarikan diri dari penganiayaan orang Islam. Sebagai balasan atas kebaikannya, ia menerima sebuah salinan Perjanjian Baru. “Kitab tersebut menjadi patokan bagi studinya dan pedoman bagi imannya; dan kaum Katolik yang berselisih dengan penafsirannya, mengakui bahwa teksnya asli dan jujur. Tetapi ia menambahkan secara khusus curahan isi hatinya kedalam tulisan tersebut dan tentang keanehan nama Paulus : dan nama Paulician berasal dari musuh-musuh mereka yang mengambil nama seseorang pemimpin yang tidak diketahui; tetapi aku yakin bahwa mereka merasa bangga dengan asal-usul mereka yang ditarik dari rasul orang-orang non-Yahudi (Rasul Paulus – penerjemah)” (Gibbon, The Decline and Fall of the Roman Empire, V, 386).
Constantine merasa bahwa ia dipanggil untuk mempertahankan dan memulihkan kembali Kekristenan yang mula-mula; karena merasa sangat terkesan dengan tulisan Paulus, ia mengambil nama salah seorang pengikutnya, Silvanus; dan gereja-gereja yang didirikannya menerima nama yang berasal dari jemaat yang mula-mula. Mereka semua dinamakan Paulician karena nama diambil dari sang rasul. Pernyataan-pernyataan kesederhanaan apostolik dari orang-orang Kristen yang taat tersebut bercerita banyak mengenai perilaku, kebiasaan, dan doktrin dibandingkan dengan buku-buku catatan yang penuh kecurigaan yang ditinggalkan oleh musuh-musuh mereka. Dengan Paulus sebagai penuntun, mereka tidak akan bergeser jauh dari kebenaran Perjanjian Baru.
Profesor Wellhausen didalam tulisan mengenai kehidupan Muhammad (Encyclopaedia Britannica, XVI, 571, edisi ke-9), memberikan sebuah catatan yang sangat menarik mengenai Baptis gurun pasir Syria-Babylonia. Ia mengatakan mereka disebut Sabian, Baptis, dan bahwa mereka melaksanakan bentuk-bentuk Kekristenan yang mula-mula. Memang, “Sabian” merupakan sebuah kata Arab yang berarti “Baptis”. Mereka sungguh-sungguh dipenuhi dengan anggota dari Syria, Palestina, dan Babylonia (Renan, Life of Jesus, bab XII). Mereka tidak tercatat didalam jalur perkembangan Kristen yang utama, dan tak tersentuh serta ketinggalan didalam kesederhanaan yang mula-mula. Muhammad banyak mengambil contoh luarnya dari mereka. Nilai ini tidak boleh diremehkan. “Hampir tidak dapat disangkal,” lanjut Prof. Wellhausen, “bahwa saksi-saksi Injil tanpa nama tersebut, yang tidak disebutkan didalam sejarah gereja, menaburkan benih yang menerjang kuman Islam.” Orang-orang Kristen tersebut adalah kaum Paulician.
Catatan sejarah yang minim ini membuktikan fakta bahwa sampai kini hal tersebut sulit untuk dimengerti. Para kaisar telah memutuskan untuk mengusir kaum Paulician dari wilayah kekuasaan mereka. Mereka mengungsi ke “daerah kekuasaan Islam pada umumnya, dimana mereka mendapat toleransi dan keyakinan mereka tetap dianggap orthodoks”. Hal ini kita dapatkan dari sang Filsuf John. Orang Arab sejak tahun 650 berhasil menolak pengaruh Roma di Armenia. Perlindungan yang sama, barangkali, memelihara gereja Paulician selama berabad-abad. Sudah jelas bahwa kaum Paulician merupakan kelompok benar dihadapan orang Arab, dan bahwa orang Islam tidak membiarkan mereka dianiaya pada masa pencobaan.
Jumlah kaum Paulician bertambah terus, dan segera menarik perhatian musuh-musuh mereka. Pada tahun 690 pemimpin mereka, Constantine, dirajam sampai mati atas perintah kaisar; dan penerus Constantine dibakar hidup-hidup. Kaisar wanita Theodora melakukan penganiayaan dimana disebutkan seratus ribu Paulician di Grecian Armenia meninggal.
Kaum Paulician pada abad kesembilan memberontak terhadap musuh-musuh mereka, mengusir Michael III, dan mendirikan negara merdeka Teprice di Armenia. Wilayah ini merupakan sebuah tempat
yang terkenal kira-kira 70 mil dari Sivas, di pinggir sungai Chalta. Mereka memberikan kebebasan berpendapat yang absolut kepada semua penduduknya (Evans, Historical View of Bosnia, 30). Dari ibukota negara merdeka ini, yang menyebut dirinya Teprice, berangkat sejumlah misionari untuk memenangkan suku-suku Slavonic dari Bulgaria, Bosnia, dan Serbia kedalam keyakinan kaum Paulician. Perihal ini ditegaskan oleh Sikeliotes. Keberhasilan mereka sangat besar – saking besarnya keberhasilan tersebut, sehingga sebagian besar penduduk negara merdeka itu bermigrasi ke negara-negara yang kemudian merdeka di luar kekuasaan kaisar. Negara Teprice berlangsung 150 tahun sampai ditaklukkan oleh kaum Saracens. Yang ada disekeliling mereka hanya penganiayaan, dan untuk diketahui – mereka sendiri kehilangan seratus ribu anggota karena penganiayaan pada masa pemerintahan Theodora – namun tetap saja diberikan perlindungan bagi semua kepercayaan maupun orang yang tidak percaya. Ini merupakan kekhasan Baptis yang menyolok.
Kaum Baptis selalu menyerukan kebebasan agama jika memiliki kesempatan. Conybeare ketika membahas Paulician, dengan jujur mengatakan:

Dan harus dicatat satu hal yang menguntungkan mereka, yakni Sistim mereka, seperti milik Kaum Cathari Eropa, ada didalam ide dasar dan konsep mereka yang bertentangan dengan penganiayaan; untuk menjadi anggota maka tergantung kepada baptisannya, yang dilakukan dengan sukarela, bahkan dengan tangis dan permohonan oleh orang dewasa yang setia dan yang sudah bertobat. Didalam jemaat demikian tidak boleh ada pemaksaan terhadap orang-orang yang tidak bersedia. Sebaliknya, alasan pokok calon yang akan dibaptis harus diteliti dengan seksama untuk memastikan bahwa hati dan pikirannya telah dimenangkan, dan hal ini semata-mata untuk menjaga apakah sesuai dengan tampak luarnya agar tidak terpedaya oleh penganiaya. Baptisan bayi merupakan salah satu akibat yang terburuk, karena dengan menciptakan keanggotaan jemaat Kristen seperti mesin dan hanya dari segi luarnya, maka baptisan menjadi murahan; sehingga meratakan jalan bagi para penganiaya (Conybeare, The Key of Truth, xii).

Pada tahun 970 Kaisar John Tzimisces memindahkan sekelompok Paulician ke Thrace dan menjamin kebebasan beragama mereka; dan hal tersebut dicatat sebagai penghargaan kepada mereka, namun sebenarnya hal tersebut adalah untuk kepentingan kaisar. Pada permulaan abad keenambelas doktrin mereka diperkenalkan dan menyebar ke seluruh Eropa, dan pengajaran-pengajaran mereka dengan cepat tertanam kuat ke negeri-negeri asing.
Di negeri Albigenses, di propinsi Selatan Perancis, Kaum Paulician berakar dengan sangat dalam, dan dari sinilah mereka melanjutkan surat-menyurat dengan saudara-saudara mereka di Armenia. Iman kepercayaan kaum Paulician “bertahan di Languedoc dan sepanjang sungai Rhine larut sebagai Kekristenan Cathar, dan barangkali juga diantara kaum Waldenses. Pada masa Reformasi, Catharisme tersebut muncul sekali lagi ke permukaan, khususnya diantara mereka yang disebut dengan Anabaptis dan Orang Kristen Unitarian, yang merupakan jemaat yang paling primitif. “The Key of Truth” dan kitab Ritual Cathar di Lyon memberikan kita dua jaringan penghubung yang besar” (Key of Truth, x).
Mereka dianiaya oleh para paus; dan segala bahan pustaka dan sumber lain yang berhubungan dengan mereka sedapat mungkin dimusnahkan. “Kumpulan-kumpulan Paulician, Albigenses yang mempunyai visi, dimusnahkan dengan api dan pedang; dan sisa-sisa yang terluka meloloskan diri dengan melawan, bersembunyi, atau menyesuaikan diri kepada Katolik. Didalam negara, didalam gereja, dan bahkan didalam biara, suksesi tersembunyi dipelihara oleh murid-murid rasul Paulus tersebut; yang memprotes tirani Roma dan memegang Alkitab sebagai ketentuan iman, serta memurnikan pengakuan iman mereka dari segala pandangan theologi Gnostik” (Gibbon, Decline and Fall of the Roman Empire, V, 398).
Banyak sejarawan disamping Gibbon, seperti misalnya Muratori dan Mosheim menghargai kaum Paulician sebagai para pendahulu Albigenses dan dalam kenyataannya merupakan kelompok yang sama. Salah seorang sejarawan yang sudah sering dikutip adalah Profesor Conybeare, yang merupakan seorang yang paling ahli di dunia mengenai masalah Paulician. Ia memastikan bahwa garis suksesi yang sejati ada pada kaum Baptis:

Jemaat tersebut senantiasa menaati gagasan kelahiran baru secara rohani didalam baptisan, walaupun dengan membaptiskan bayi hal tersebut telah lama melemahkan dan membuang esensi baptisan. Memang signifikansi baptisan Yesus, seperti yang dinyatakan kepada rasul Paulus dan para penginjil, segera membutakan mata jemaat-jemaat orthodoks ... Masa kini kita banyak mendengar pembahasan mengenai keabsahan ordo (kelompok) dari Inggris, Latin, dan Timur. Para mahasiswa sejarah gereja yang jernih pikirannya tidak bisa tidak untuk bertanya bahwa tidak pernah muncul pertanyaan gereja-gereja Inggris yang kontroversi tersebut, betapapun juga, apakah mereka tidak berkhayal; pendeknya, apakah mereka, siapapun juga, termasuk kelompok-kelompok sejati mula-mula yang telah mereka nyatakan sebagai milik mereka itu. Berbagai sekte pada Abad Pertengahan yang dikenal sebagai orang Kristen memelihara baptisan dalam bentuk dan arti aslinya terus menerus menolak untuk mengakui keabsahan baptisan bayi dari gereja-gereja orthodoks besar atau penganiaya itu; dan tentu saja mereka ada didalam kebenaran, sejauh doktrin dan tradisi dapat dipercaya. Tidak perlu dikatakan lagi, bahwa gereja-gereja besar telah lama kehilangan baptisan yang asli, tidak layak lagi melaksanakan sakramen-sakramen, keimamatan, dan terus-terang juga termasuk Kekristenan. Jika mereka mau masuk kembali kedalam Kekristenan, mereka harus diperbaiki, bukan ke Roma atau Konstantinopel, namun kedalam jaringan-jaringan Kristen yang tidak memiliki nama, terutama di Timur, yang tidak pernah kehilangan kesinambungan sakramen baptisan. Mereka adalah kaum Paulician dari Armenia, sekte Bogomil di sekitar Moscow yang para anggotanya sendiri menyebut diri sebagai Milik Kristus, kaum Baptis dewasa (mereka yang melaksanakan baptisan orang dewasa) diantara orang Syria di lembah Tigris atas, dan barangkali, meskipun belum dapat dipastikan, yakni kaum popelikans, Mennonites, dan masyarakat luas Baptis di Eropa. Kecaman terhadap gereja-gereja besar dan disebut orthodoks tersebut kelihatannya kasar dan sok ilmiah, namun memang tidak bisa dihindari, dan kami menempatkan diri pada pijakan yang sama dengan yang mereka nyatakan. Kesinambungan baptisan lebih penting pada abad pertama dari jemaat dibandingkan dengan kesinambungan kelompok; memang demikian pentingnya, sehingga baptisan para bidatpun juga diakui sah. Seandainya penghargaan dinilai tinggi dengan rangkaian suksesi uskup yang tiada putusnya, itu adalah karena salah satu fungsi dari uskup (penilik) adalah mengawasi keutuhan upacara agama yang ada sejak mula. Berapa jelek para penilik (uskup) dari gereja-gereja besar itu melaksanakan tugasnya, memang tidak seberapa, setelah abad ketiga mereka bahkan memahaminya, terlihat didalam perkembangan yang tidak dapat dipastikan, dari tahun 300 AD dan seterusnya, tentang penyalahgunaan upacara baptisan, yang timbul tidak lama sebagai akibat yang disebabkannya (Conybeare, The History of Christmas, Didalam The American Journal of Theology).

Dr. Justin A. Smith, yang lama menjadi editor akademis di The Standard, Chicago, berpendapat mengenai Paulician:

Kesimpulan dari semua ini adalah, bahwa apakah bisa atau tidak suksesi (kesinambungan) jemaat Baptis ditelusuri melalui masa-masa Abad Pertengahan kembali kepada masa ketika sejarah denominasional kita bermula didalam arti yang sebenarnya, paling tidak kita dapat mengatakan bahwa asal-usul kita ditarik lurus ke atas sesuai garis keturunan Kekristenan murni yang bertahan, seandainya memang ada di dunia ini; dan bahwa diantara leluhur Baptis kita, dalam hal ini, merupakan pria dan wanita yang memiliki kehormatan menyolok untuk difitnah oleh mereka yang dibuktikan oleh sejarah sebagai ahli-ahli yang jago membunuh dan memfitnah (Smith, Modern Church Hsitory, 227).

Satu hal yang pasti, bahwa di Italia, di Perancis, dan sepanjang sungai Rhine, kaum Paulician dan Albigenses ditemukan di wilayah yang sama, dan diantara mereka tidak ada perbedaan praktek dan doktrin. Para penulis sejauh ini menegaskan bahwa memang ada suksesi jemaat dan suksesi kepentingan. Sudah terbukti, bahwa pada pertengahan abad kesebelas mereka banyak jumlahnya di Lombardy dan Isurbia, khususnya di Milan, Italia; dan tidak ada yang lebih pasti lagi bahwa mereka mengembara melalui Perancis, Jerman dan negeri-negeri lainnya, dan dengan kekudusan mereka, mereka memenangkan banyak sekali masyarakat dengan jalan pemikiran mereka. Di Italia mereka disebut Paternes dan Cathari, dan di Jerman, Gazari. Di Perancis mereka disebut Albigenses. Mereka disebut Bulgarians, khususnya di Perancis, karena diantara mereka ada yang datang dari Bulgaria, dan mereka juga dikenal dengan sebutan Boni Homines (Mosheim, Institutes of Ecclesiastical History, II, 200-202). Musuh-musuh mereka memuji kesalehan mereka. Suksesi mereka ditemukan sepanjang Abad Pertengahan.
Kaum Paulician didakwa sebagai Manichaeans, dan banyak prasangka dengan seenaknya dituduhkan kepada mereka didalam cerita ini. Menurut Adeley, “Kaum Paulician telah difitnah dengan luar
biasa dibandingkan dengan sekte-sekte Kristen lainnya” (The Greek and Eastern Churches, 216, New York, 1908). Katolik Roma selalu mencela pengajaran Marcion dengan permusuhan sepihak. Kini telah diketahui bahwa kaum Paulician bukanlah Manichaeans. Key of Truth menyelesaikan masalah ini (hal. 18). Para akademisi Armenia modern tidak ragu-ragu untuk mengoreksi kesalahan tersebut (Ter Mkittschain , Die Paulikianer im Byzantinischen in Armenien, Leipzig, 1893). Conybeare tidak meragukan masalah tersebut.
Kembali kepada doktrin dan praktek kaum Paulician, kami mendapatkan bahwa mereka secara konstan menggunakan Perjanjian Lama dan Baru. Mereka tidak memegang perintah kependetaan sebagai sesuatu yang berbeda dengan orang awam oleh karena cara-cara hidup mereka, pakaian dan hal-hal yang lain; mereka tidak mempunyai sidang atau lembaga-lembaga sejenisnya. Para pengajar mereka mempunyai kedudukan yang sama tingkatnya. Mereka berusaha keras dengan tekun mempertahankan kesederhanaan hidup seperti para rasul. Mereka menentang segala bentuk penyembahan berhala yang dilakukan didalam Gereja Katolik Roma. Peninggalan menakjubkan dari mereka adalah tumpukan tulang dan abu, kemelaratan hidup dan kerelaan. Mereka mempertahankan pandangan yang orthodoks mengenai Tritunggal; dan sifat kemanusiaan serta penderitaan Anak Allah yang substansial.
Pandangan Baptis berlaku didalam kaum Paulician. Mereka mempertahankan bahwa manusia harus bertobat dan percaya, dan kemudian pada usia dewasa memberi diri dibaptis, sehingga dengan demikian mereka diterima kedalam jemaat. Mosheim mengamati, “Ada bukti mereka menolak baptisan bayi.” Mereka membaptis dan membaptis ulang dengan cara selam. Mereka benar-benar dianggap Anabaptis (Allix, The Ecclesiastical History of the Ancient Churches of Piedmont, Oxford, 1821).
Boleh dikatakan pendapat-pendapat mengenai Paulician dikumpulkan dari sebuah Sinode yang diselenggarakan di Arras, pada tahun 1025 oleh Gerard,Uskup Cambray dan Arras. Suatu kali Gundulphus, seorang Paulician dihukum. Ia telah mengajarkan doktrinnya di banyak tempat. Ditemukan didalam penelitian bahwa Paulician mempertahankan:

Hukum dan pengajaran yang telah kami terima dari Tuhan tidak akan saling bertentangan, baik dengan Injil maupun lembaga-lembaga apostolik jika dilihat dengan seksama. Pengajaran ini termasuk meninggalkan keduniawian, mengendalikan hawa napsu, menyediakan nafkah hidup dengan hasil kerja sendiri, tidak menyakiti siapapun, dan memberikan amal bagi semua orang yang tekun didalam usaha yang kami tuju ini.

Sehubungan dengan baptisan, mereka menanggapi sebagai berikut :

Tetapi jika ada yang akan berkata, bahwa beberapa sakramen tersembunyi didalam baptisan, maka kuasa baptisan sirna karena tiga alasan: pertama adalah, karena para hamba kehidupan yang jahat itu tidak dapat menawarkan jalan keselamatan kepada orang-orang yang akan dibaptis. Kedua, karena dosa apa saja yang sudah ditinggalkan di bak pembaptisan, kemudian dipungut kembali kedalam kehidupan dan praktek. Ketiga, karena adanya kehendak yang aneh, iman yang aneh, dan sebuah pengakuan aneh yang tidak seharusnya ada, atau mengambil kesempatan dari seorang anak kecil yang kehendak maupun tindak-tanduknya tidak dapat dipegang, yang tidak tahu apa-apa mengenai iman dan juga tidak mengetahui kebaikan dan keselamatan untuk dirinya, sehingga tidak diperlukan lahir baru, serta dari mereka tidak mungkin diharapkan pengakuan iman (Allix, The Ecclesiastical Churches, 104).

Pada saat ini belum ada suatu jawaban yang lebih baik. Ada sebuah Pengakuan Iman yang menjadi milik kaum Paulician pada tahun 1024 AD yang menyatakan:

Pada permulaan Kekristenan tidak ada pembaptisan bayi; dan bapak-bapak pendahulu mereka tidak melakukan hal yang dimaksud dan dari sanubari kami yang terdalam menyatakan bahwa baptisan adalah sebuah permandian yang dilakukan didalam air, dan mempertahankan penyucian jiwa dari dosa (Mehrning, Der heilingen Tauff Historie, II, 738).


Ada kemungkinan bahwa kaum Paulician merupakan kaum Adoptionists. Ini merupakan pandangan Conybeare (lxxxvii), namun pendapatnya sering merupakan kesimpulan (xiv). Lebih lanjut ia mengatakan: “Saya berpendapat bahwa kaum Cathar di Eropa berasal dari kaum Adoptionist juga sekedar berdasarkan kesimpulan” (xiv).
Kaitan pandangan ini dengan pandangan Baptis diajukan oleh Conybeare sebagai berikut:

Oleh karena itulah dalam lapangan penelitian yang dapat dipercaya harus dipertanyakan apakah kaum Paulician tidak ikut terlibat dengan banyaknya sekte yang muncul dan tampil pada masa Reformasi, sedikit banyak, setidak-tidaknya sedikit persamaan dengan prinsip Paulician seperti yang dikemukakan didalam The Key of Truth. Tidak ada tempat untuk memulai didalam penyelidikan demikian, karena hal tersebut berarti membutuhkan pekerjaan yang terpisah. Barangkali data yang memungkinkan untuk menelusuri jalur-jalur komunikasi tersebut sudah tidak ada lagi. Dalam kasus apapun untuk melakukan hal tersebut diperlukan sejumlah penelitian yang luas; namun kelihatannya memungkinkan bahwa paling sedikit kita memiliki dua sekte pada masa Reformasi yang bertahan hidup dari bentuk penganiayaan yang sama dari Gereja Katolik purba sebagaimana yang diungkapkan oleh The Key. Kedua sekte tersebut adalah Anabaptis dan Unitarian yang kemudian disebut Socinian yang diambil dari nama guru besar mereka Socinus. Dari yang disebut terakhir ini diturunkan gereja-gereja Baptis Inggris dan Amerika yang agung, dan juga kaum Mennonites Jerman. Argumentasi kaum Baptis abad keenambelas mengenai baptisan bayi sama seperti yang tercatat didalam The Key, dan – apa yang juga dapat kita harapkan – pandangan Adoptionist mengenai Kristus sebagai tuntunan menyertai mereka di masa lalu; meskipun kaum Baptis modern menerima doktrin zaman sekarang tentang Inkarnasi (Tuhan yang datang sebagai manusia) telah mengaburkan asal-usul dan melemahkan ketaatan mereka yang khusus. Dari abad pertama prinsip Adoptionist demikian alami dan demikian tak terbantahkan bersatu dengan baptisan orang dewasa, seperti juga halnya baptisan bayi dengan Kristologi pneumatik, dimana Yesus dikatakan sejak dari dalam rahim ibunya dan didalam buaiannya dipenuhi dengan Roh Kudus, makhluk illahi yang telah ada, pencipta, dan pengendali alam semesta (Conybeare, The Key, cl, cli).

Apapun kesimpulan akhir dari masalah tersebut, dapat dipastikan bahwa pandangan kaum Adoptionist dan kaum Paulician menekankan perlawanan mereka terhadap baptisan bayi.
Bentuk baptisan adalah menyelamkan subyek kedalam air satu kali, sementara orang Yunani menyelamkan tiga kali. Banyak bukti bahwa di Armenia bentuk baptisannya adalah dengan cara selam. Macarius, Patriarch dari Yerusalem, pada tahun 331-335 AD., menulis kepada orang Armenia dan mengatakan bahwa baptisan dilaksanakan dengan “tiga kali menyelam dan terkubur didalam air bak pembaptisan yang kudus” (Perpustakaan Mechitarist Fathers of Vienna, MSS, Cod. Arm. No. 100). Ada sebuah pidato yang dipelihara sejak abad keduabelas yang dianggap berasal dari Isaac Catholicos dari Armenia, yang menyampaikan praktek kaum Paulician tersebut. John Otzun, 718 AD., mengatakan kaum Paulician yang turun kedalam tempat pembaptisan (Otzun, Opera, 25, Venice, 1834). Dan lebih lanjut ia menceritakan bagaimana orang Islam mencoba mencegah mereka melakukan pembaptisan didalam aliran sungai, karena takut mereka akan menyihir perairan dan membuat mereka tidak sehat.
Praktek konstan dari Gereja Timur adalah selam. Rev. Nicholas Bjerring berkata tentang baptisannya: “Baptisan kadang-kadang diselenggarakan didalam gereja dan kadang-kadang didalam rumah-rumah pribadi jika dibutuhkan. Ia selalu dilaksanakan dengan menyelamkan bayi atau orang dewasa tiga kali” (Bjerring, The Offices of the Oriental Church, xii, New York, 1880). Dan selanjutnya didalam Liturgi ia melakukan upacara penyelaman. Demikianlah kaum Paulician mempraktekkan cara selam seperti yang dimaksudkan Alkitab.
Kaum Bogomil merupakan sebuah cabang Cathari atau Paulician yang tinggal di Thrace. Nama tersebut muncul karena berasal dari salah seorang pemimpin mereka di pertengahan abad kesepuluh, walaupun orang lain menyatakan bahwa nama mereka berasal dari sebuah kata Slavia yang didefinisikan sebagai “Yang Dikasihi Tuhan”. Kaum Bogomil berulang kali dikutuk dan seringkali dianiaya, namun mereka terus hidup sepanjang Abad Pertengahan dan masih tetap ada pada abad keenambelas.

Penulis sejarah menyatakan mereka merupakan peninggalan yang paling kuno. Dr. L.P. Brockett yang menulis sebuah catatan sejarah mengenai mereka, mengatakan:

Di antara mereka (para sejarawan Bulgaria) kerapkali dengan tak terduga saya temukan dalam jarak yang sempit, bukti yang paling meyakinkan bahwa sekte-sekte ini semuanya pada masa sejarah awalnya, adalah kaum Baptis, bukan saja dalam pendirian mereka mengenai subyek baptisan dan Perjamuan Tuhan, tetapi juga didalam perlawanan mereka terhadap baptisan bayi, terhadap hirarkhi gereja, terhadap pemujaan Perawan Maria serta para santo dan santa, dalam ketaatan independensi gereja dan kebebasan kesadaran beragama. Singkatnya, kesimpulan tersebut telah memaksa saya untuk mengatakan bahwa didalam orang-orang Kristen Bosnia, Bulgaria dan Armenia ini, kita memiliki suksesi jemaat Perjanjian Baru, jemaat-jemaat Kristen dari para rasul, dan bahwa sejak pada awal abad keduabelas, jemaat-jemaat ini beranggotakan sejumlah orang-orang yang telah bertobat dan percaya, tidak kalah banyaknya dengan jemaat Baptis di seluruh dunia pada masa kini (Brockett, The Bogomils of Bulgaria and Bosnia, 11-12).

Beberapa penulis Katolik Roma telah menegaskan bahwa kaum Bogomil tidak melaksanakan baptisan, atau menjalankan Perjamuan Tuhan; dan lebih jauh lagi, mereka menolak Perjanjian Lama. Ini barangkali tidak mempunyai makna apa-apa kecuali bahwa mereka menolak baptisan bayi, dan mengutip Perjanjian Baru sebagai yang tertinggi dan otoritas atas masalah tersebut.
Penganiayaan terhadap kaum Bogomil sebagaimana juga terhadap kaum Paulician, terus berlangsung dengan keras. Segala upaya dilakukan untuk memusnahkan mereka. “Namun mereka tetap tidak bisa dibasmi,” kata Conybeare, “tetapi hanya membuat mereka bergerak dibawah tanah. Mereka bersembunyi di seluruh Eropa, khususnya di daerah Balkan, dan sepanjang sungai Rhine. Di tempat-tempat persembunyian tersebut, kelihatannya mereka menghimpun kekuatan bersama secara rahasia untuk muncul kembali ke permukaan bila ada kesempatan. Kesempatan tersebut adalah pada saat Reformasi Eropa, dimana khususnya dibawah bentuk Anabaptis dan gagasan Unitarian, ragi dari jemaat apostolik mula-mula tersebut dengan bebas berbaur dan mengubah bentuk kepercayaan yang lain. Kami yakin bahwa kaum Bogomil dari Negara-negara Balkan memegang peranan yang sangat penting dalam melahirkan gerakan agama yang besar tersebut (The Key of Truth, cxcvi).>

Buku-buku untuk bacaan dan referensi lebih lanjut:
Fisher, 142.
John C.L. Gieseler, A Compendium of Ecclesiastical History, II, 208-212; III, 494-500.
Gibbon, Decline and Fall of the Roman Empire, Edition Bury.
F.C. Conybeare, Rituale Armenorum.
F.C. Conybeare, The Key of Truth.
John L. von Mosheim, Institutes of Ecclesiastical History, II, 101-105, 135, 136, 201-205.
Augustus Neander, A General History of the Christian Religion and Church, V, 337-370.

Tidak ada komentar:

Supported By

Share Link

IFB KJV Directory